Sabtu, 28 Maret 2009

Efektifitas Komunikasi Interpersonal

Ancangan pragmatis, keperilakuan, atau sering dikatakan sebagai ancangan "keras" untuk efektivitas antarpribadi, adakalanya dinamai model kompetensi, memusatkan pada perilaku spesifik yang digunakan oleh komunikator untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Model ini juga menawarkan lima kualitas efektivitas: kepercayaan-diri (confidence), kebersatuan (immediacy), manajemen interaksi (interaction management), daya-pengungkapan (expresiveness), dan orientasi ke pihak lain (other orientation) (Spitzberg & Cupach, 1989; Spitzberg & Hecht, 1984).

Kepercayaan-diri
Komunikator yang efektif memiliki kepercayaan diri sosial; perasaan cemas tidak dengan mudah dilihat oleh orang lain. Komunikator yang efektif selalu merasa nyaman bersama orang lain dan merasa nyaman dalam situasi komunikasi pada umumnya. Kualitas ini juga memungkinkan pembiealll berkomunikasi secara efektif dengan orang-orang yang gelisah, pemalu, atau khawatir dan membuat mereka merasa lebih nyaman.
Komunikator yang secara sosial memiliki kepereayaan diri bersikap santai, tidak kaku; fleksibel dalam suara dan gerak tubuh, tidak terpaku pada nada suara tertentu dan gerak tubuh tertentu; terkendali, tidak gugup atau canggung.
Sosok yang santai, menurut riset, mengkomunikasikan sikap terkendali, status, dan kekuatan Ketegangan, kekakuan, dan kecanggungan, sebaliknya, mengisyaratkan ketiadaan kendali, yang selanjutnya mengisyaratkan ketidak-mampuan mengendalikan lingkungan atau orang lain serta mengisyaratkan kesan bahwa orang itu berada dalam kekuasaan atau kendali pihak luar.
Emosi. Emosi merupakan hal yang penting dalam factor penentu Kepercayaan diri. Emosi yang terkontrol dapat mempertahankan kepercayaan diri kita.

Kebersatuan (Immediacy)
Kebersatuan· mengacu pada penggabungan antara pembicara dan pendengar – tereiptanya rasa kebersamaan dan kesatuan. Komunikator yang memperlihatkan kebersatuan mengisyaratkan minat dan perhatian. Bahasa yang menunjukkan kebersatuan umumnya ditanggapi lebih positif ketimbang bahasa yang tidak menunjukkan kebersatuan. Kebersatuan menyatukan pembicara dan pendengar.
Secara nonverbal kita mengkomunikasikan kebersatuan dengan memelihara kontak mata yang patut, kedekatan fisik yang menggemakan kedekatan psikologis, serta sosok tubuh yang langsung dan terbuka. Ini meliputi gerakan tubuh yang dipusatkan pada orang yang anda ajak berinteraksi, tidak terlalu banyak melihat kesana-kemari, tersenyum kepada orang itu, dan perilaku lain yang mengisyaratkan, "Saya berminat kepada anda."
Kebersatuan dikomunikasikan secara verbal dengan berbagai cara. Misalnya:
1. Menyebut nama lawan bicara.
2. Menggunakan kata ganti yang mencakup baik pembicara maupun pendengar.
3. Memberikan umpan balik yang relevan.
4. Tunjukkanlah bahwa anda memusatkan perhatian pada kata-kata lawan bicara.
5. Kukuhkan, hargai, atau pujilah lawan bicara.
6. Sertakan referensi-diri ke dalam pemyataan yang bersifat evaluatif.

Manajemen Interaksi
Komunikator yang efektif mengendalikan interaksi untuk kepuasan kedua pihak. Dalam manajemen interaksi yang efektif, tidak seorangpun merasa diabaikan atau merasa menjadi tokoh penting. Masing-m­asing pihak berkontribusi dalam keseluruhan komunikasi.
Menjaga peran sebagai-pembicara dan pendengar dan -melalui gerakan mata, ekspresi vokal, serta gerakan tubuh dan wajah yang sesuai- saling memberikan kesempatan untuk berbicara merupakan keterampilan manajemen interaksi. Begitu juga, menjaga percakapan terus mengalir dengan lancar tanpa keheningan panjang yang membuat orang merasa canggung dan tidak nyaman merupakan tanda dari manajemen interaksi yang efektif.
Manajemen interaksi yang efektif menyampaikan pesan-pesan verbal dan nonverbal yang saling ber­sesuaian dan saling memperkuat. Layak dikemukakan di sini bahwa wanita pada umumnya menggunakan ekspresi nonverbal yang lebih positif dan lebih menyenangkan ketimbang pria. Sebagai contoh, wanita lebih banyak tersenyum, lebih banyak mengangguk tanda setuju, dan lebih terbuka dalam mengungkapkan perasaan positif. Tetapi, ketika mengungkapkan perasaan marah atau kekuasaan yang dimiliki, banyak wanita yang tetap menggunakan isyarat-isyarat nonverbal positif ini, sehingga melemahkan ekspresi kemarahan atau kekuasaan tersebut. Hasilnya adalah bahwa wanita demikian seringkali canggung dalam memperlihatkan emosi negatif, dan lawan bicara karenanya kurang bisa mempercayai mereka atau merasa terancam oleh perilaku ini.

Pemantauan-Diri (Self-Monitoring). Pemantauan-diri berhubungan secara integral dengan manajemen interaksi antarpribadi. Pemantauan diri adalah manipulasi citra yang kita tampilkan kepada pihak lain (Snyder, 1986). Pemantaun-diri yang cermat selalu menyesuaikan perilaku mereka menurut umpan balik dari pihak lain, guna mendapatkan efek yang paling menyenangkan. Mereka memanipulasi (dalam arti positif) interaksi antarpribadi untuk menciptakan kesan antarpribadi yang terbaik dan paling efektif. Pemantau-diri yang kurang baik, sebaliknya, tidak terlalu memperhatikan citra yang mereka pancarkan kepada pihak lain. Interaksi mereka ditandai oleh keterbukaan di mana mereka mengkomunikasikan pikiran dan perasaan mereka tanpa usaha memanipulasi eitra yang mereka ciptakan. Kebanyakan dari kita berada di antara kedua ekstrim ini.
Walaupun tampaknya ada dua tipe pemantauan-diri yang relatif jelas, kita semua melakukan pemantauan-diri secara selektif, bergantung pada situasi: Anda lebih mungkin memantau perilaku dalam suatu wawancara melarnar pekerjaan ketimbang dalam interaksi dengan sekelompok ternan.
Temuan riset dan teoritentang pemantauan-diri, keterbukaan, dan pengungkapan-diri mendukung kesimpulan bahwa efektivitas kita bertambah jika kita melakukan pengungkapan-diri secara selektif, membuka-diri secaraselektif, dan memantau-diri secara selektif. Tampaknya konyol jika kita membuka diri secara total, mengungkapkan segala hal tentang kita kepada setiap orang, mengabaikan umpan balik dari orang lain, dan tidak mau melakukan pemantauan-diri. ­Ekstrim lainnya - orang yang tertutup, tidak pemah mau mengungkapkan diri dan selalu memantau setiap gerak - sarna konyolnya dan harus pula dihindari.

Daya Ekspresi (Expressiveness)
Daya ekspresi mengacu pada keterarnpilan mengkomunikasikan keterlibatan tulus dalam inter aksi antarpribadi. Kita berperan- serta dalam permainan dan tidak sekadar menjadi penonton. Daya ekspresi sarna dengan keterbukaan dalam hal penekanannya pada keterlibatan, dan ini mencakup, rnisalnya ,­ekspresi tanggungjawab atas pikiran dan perasaan, mendorong daya ekspresi atau keterbukaan orang lain, dan memberikan umpan balik yang relevan dan patut.
Kualitas ini juga mencakup pernikulan tanggungjawab untuk berbicara dan mendengarkan, dan dalam. hal ini sarna dengan kesetaraan. Dalarn situasi konflik, daya ekspresi mencakup ikut berkelahi secara aktif dan menyatakan ketidak-setujuan secara langsung dengan "I-messages", bukan berkelahi secara pasif menarik diri, atau melemparkan tanggungjawab kepada orang lain.
Kita mendemonstrasikan daya ekspresi dengan menggunakan variasi dalam kecepatan, nada, volume dan ritme suara untuk mengisyaratkan keterlibatan dan perhatian dan'dengan membiarkan otot-otot wajah mencerminkan dan menggemakan keterlibatan ini.
Demikian juga, kita menggunakan gerak-gerik tubuh (dengan gaya dan frekuensi yang sesuai) untuk mengkomunikasikan keterlibatan. Kontak mata juga merupakan hal yang perlu diperhatikan. Menggunakan terlalu sedikit gerak-gerik mengisyaratkan ketiadaan minat. Terlalu banyak gerak-gerik dapat mengkomunikasikan ketidak-nyamanan, kecanggungan, dan kegugupan. Dan semuanya itu dapat mempengaruhi juga ekspresi lawan bicara kita. Karena ia-pun juga akan berekspresi sebagai tanggapan terhadap ekspresi kita. Kita terlihat bahagia dan senyum maka lawan bicara kitapun juga akan membalas senyum pada kita.
Pembicara yang berbicara tentang sesuatu yang gawat atau penting seperti: penyakit fatal, memenangkan undian 500 juta, dan lainnya dengan nada suara yang sama, dengan sosok yang statis dan dengan wajah tanpa ekspresi, adalah manajer interaksi yang tidak efektif. Karena ekspresi menunjukkan perasaan dalam diri kita sebagai tanggapan atas reaksi yang diberikan kepada kita.

Orientasi Kepada Orang lain

Terlalu sering kita hanya memperhatikan diri sendiri, berorientasi kepada diri sendiri. Dalam interaksi, antarpribadi, ini berbentuk mempercakapkan diri sendiri, pengalaman, minat dan keinginan kita sendiri. Ini berarti kita mendominasi sebagian besar, jika tidak semua, pembicaraan, dan kurang atau tidak memperhatikan umpan balik verbal dan nonverbal dari pihak lain.

Orientasi kepada orang lain adalah lawan dari orientasi kepada diri sendiri. Orientasi mengacu pada emampuan kita untuk menyesuaikan diri dengan lawan bicara selama petjumpaan antarpribadi. Orientasi ini mencakup pengkomunikasian perhatian dan rninat terhadap apa yang dikatakan lawan bicara.

Kita mengkomunikasikan orientasi kita kepada orang lain secara nonverbal melalui kontak mata yang terpusat, senyum, anggukan, mencondongkan diri ke arah lawan bicara, dan memperlihatkan perasaan dan emosi melalui ekspresi wajah yang sesuai. Secara verbal kita memperlihatkan minat melalui komentar-komentar seperti "Oh, ya?" dan "Oh, begitu?", melalui permintaan akan informasi lebih jauh ("Apa lagi yang anda lakukan di sana?"), dan melalui ungkapan empati ("Saya bisa mengerti apa yang anda rasakan; saya juga baru saja ditinggal orang yang saya sayangi").

Komunikator yang berorientasi kepada lawan bicara melihat situasi dan interaksi dari sudut pandang lawan bicara dan menghargai perbedaan pandangan dari lawan bicara ini. Begitu juga, orang yang berorientasi kepada lawan bicara mengkomunikasikan pengertian empatik dengan menggemakan perasaan pihak lain atau mengungkapkan pengalaman atau perasaan yang sama. Untuk mewujudkan empati, orang yang berorientasi kepada lawan bicara mendengarkan dengan penuh perhatian dan memper­lihatkan perhatian ini secara verbal dan nonverbal. Orientasi kepada lawan bicara memberikan umpan balik yang cepat dan pantas yang menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang perasaan dan pikiran.

1 komentar: